MagzNetwork

Menyakitkan memang, meskipun pernah menduduki posisi lumayan, saat ini kualitas manusia Indonesia mengalami kemerosotan menjadi yang paling rendah di Asia Tenggara. Hal ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir. Dalam laporan International Education Achievement (2004) tentang kemampuan membaca murid SD serta kemampuan matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam murid SLTP, Indonesia menduduki urutan buncit dari 42 negara yang diteliti.

Selain kualitas, pendidikan kita juga menghadapi masalah kuantitas. Tahun lalu, dari 118.108 siswa SD yang mengikuti general test di Jakarta, sebanyak 34.313 tidak diterima di SLTP negeri. Bila ingin melanjutkan sekolah, mereka harus mendaftar ke sekolah swasta yang lebih mahal.

Padahal, bisa diduga, sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga pas-pasan, yang boleh jadi mengalami kesulitan konsentrasi karena kekurangan gizi misalnya. Tanpa affirmative action dari negara untuk membantu mereka yang lemah secara ekonomi, selain kemerosotan kualitas manusia, kita juga dihadapkan pada kesenjangan sosial yang semakin mengental.

Lebih dari dua hal tadi, keberhasilan pendidikan juga ditentukan oleh visi yang dianut. Meminjam istilah Ben Anderson, Indonesia adalah sebuah imagined community, komunitas yang "dibayangkan". Untuk itu, dibutuhkan sebuah visi pendidikan yang membayangkan manusia Indonesia seperti apa yang kita inginkan.

Perilaku menyimpang seperti yang banyak ditunjukkan elite yang melakukan korupsi serta, tak jarang, sikap masyarakat yang terkesan permisif terhadap tindakan dan pelaku korupsi bisa dianggap sebagai salah satu indikasi kegagalan pendidikan yang seharusnya berperan menghasilkan manusia yang tidak hanya rasional, tapi juga berbudi luhur.

Saat ini, semakin terasa perlunya kesepakatan yang mendasari dan menjadi tujuan pendidikan nasional.

Tentu saja yang dimaksud bukanlah penyeragaman, tetapi kesepakatan terkait Leitgedanken (alur pemikiran) yang memberikan ruang bagi mekarnya kreativitas dan keberagaman, toleransi, tanggung jawab, serta keprihatinan terhadap ketidakadilan. Begitu pula solidaritas terhadap mereka yang lemah, papa, dan terpinggirkan.

Orientasi Nilai

Terdapat kesepakatan luas bahwa pendidikan sebaiknya berorientasi pada nilai. Pendidikan tidak boleh terbatas pada sekadar transfer pengetahuan dan keahlian fungsional. Tak kalah penting adalah pengembangan jati diri dan kemampuan mengkritisi dan menularkan nilai dasar bersama, seperti kejujuran, keadilan, kerja keras, kesederhanaan, disiplin, dan kebersamaan. Sikap toleran, misalnya, hanya tumbuh bila seseorang bangga atas jati dirinya.

Perlu juga ditekankan bahwa prestasi tidak akan dicapai dengan sikap instan, atau keinginan serbacepat seperti cepat pintar, cepat kaya, atau cepat terkenal. Bila tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia, perlu disadarkan bahwa pribadi yang merdeka bukan yang laissez faire, tetapi yang mampu mempertanggungjawabkan kemerdekaannya.

Selain itu, meski sistem pedidikan sebaiknya terkait dengan dunia praktis, namun itu bukan berarti melulu berbicara tentang "materialisasi" pendidikan yang mengedepankan konsep 'siap pakai' bagi perekonomian. Dalam kehidupan dan profesi, sering hal-hal yang mendasar terjadi dalam ruang di antara batasan-batasan konvensional.

Profesi dan jurusan akademik baru, misalnya, muncul di antara jurusan-jurusan klasik, sehingga memerlukan orientasi baru. Juga diperlukan pelajaran interdisiplin, seperti 'campuran' antara biologi, kimia, dan etika. Atau, matematika dengan elektronika dan sosiologi dengan ekonomi. Untuk itu, diperlukan fleksibilitas para guru dan murid, mahaguru dan mahasiswa.

Dalam mengantisipasi kebutuhan pasar akan tenaga kerja dalam negeri, regional, dan global, sekolah kejuruan harus mendapatkan perhatian yang layak dan secara terus-menerus diperbarui. Jebolannya harus bisa bekerja dalam sebuah tim interdisiplin.

Adalah tidak sehat bahwa mereka yang tamat pendidikan dasar hanya memiliki sedikit pilihan selain melanjutkan ke SMU yang kemudian berkeinginan melanjutkan pendidikan ke universitas. Juga adalah kenyataan sebagian besar tamatan universitas tidak memilih profesi sebagai akademisi.

Sistem pendidikan juga sebaiknya tetap beragam. Kita bersyukur bahwa sejarah kependidikan Indonesia telah memunculkan keragaman model, lembaga, dan tradisi pendidikan. Ada model sekolah yang diadaptasi dari sistem pendidikan kolonial dan Eropa, ada pula pesantren yang diadopsi dari budaya Hindu-Buddha dan Islam. Juga ada sintesis dari berbagai budaya tersebut.

Lalu, ada yang formal, nonformal, dan informal. Begitu pula negeri maupun swasta. Yang harus kita tanyakan secara jujur adalah, lembaga pendidikan apa yang cocok untuk siapa? Sekolah formal, misalnya, tidak selalu cocok untuk setiap anak pada semua tingkatan.

Karena itu, harus diupayakan agar apa pun status dan modelnya, seluruh lembaga pendidikan memperoleh perhatian dan penghargaan optimal. Boleh memprioritaskan, tapi jangan 'menganakemaskan' yang satu daripada yang lain. Juga harus dikembangkan kemungkinan melanjutkan pendidikan lintas model dan lintas lembaga.

Diperlukan sistem pendidikan yang memberikan ruang bagi anak didik untuk bersaing dan berkreasi secara 'fair'. Fair, juga berarti memberikan beasiswa dan bantuan ekstra kepada mereka yang berasal dari lapis sosial bawah, sambil tetap memberikan penghargaan kepada siapa pun yang berprestasi.

Lembaga pendidikan juga perlu dibebaskan dari kungkungan birokrasi yang tambun dan njlimet. Dalam hal suasana ajar-mengajar, metode dialog, diskusi, dan 'mempertanyakan' untuk mencari kebenaran yang lebih tinggi harus dibuka lebar-lebar.

Terakhir, dibutuhkan sistem pendidikan yang efisien dalam pengelolaan waktu. Para guru dan murid agar tidak dibebani pelajaran yang berjubel. Begitu pula, agar waktu mengajar tidak terpaksa diperpendek karena dipakai untuk mencari penghasilan tambahan.

Sebagian dari butir-butir harapan di atas masih menjadi mimpi yang dalam waktu dekat, rasanya, sulit dijangkau. Tetapi, hakikat reformasi adalah penciptaan keadaan yang lebih baik daripada sebelumnya. Idealnya, proses reformasi itu terjadi secara berkesinambungan. Terus-menerus.

Untuk itu, dibutuhkan keberanian, pengorbanan, dan kerelaan kita semua untuk melakukan terobosan-terobosan terhadap batas-batas sistem yang telah mapan dan baku.

Tanpa itu, kita hanya akan mengulang pola yang telah ada dalam cara yang tampaknya saja baru dan canggih, padahal tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Ibaratnya, sekadar memperbarui lebel dan, mungkin juga botol, sementara isinya masih yang lama, yang boleh jadi sudah basi.

* Ivan A. Hadar, koordinator Nasional TARGET MDGs. Tulisan ini pendapat pribadi
________________________________________
Sumber:
Jawa Pos, 4 Oktober 2008